Tampilkan postingan dengan label About Gorontalo. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label About Gorontalo. Tampilkan semua postingan

Totonu Yio Gorontalo?


Apa persamaan antara Gorontalo dan Geologi? Jawabannya sangat mudah, keduanya mengandung huruf G, L, dan O. Tapi jawaban yang lebih serius, Gorontalo dengan Geologi bagaimana pun tidak dapat terpisahkan dengan Prof. J. A. Katili. Ia yang terlahir di Kampung Bugis, Kecamatan Kota Timur, Kota Gorontalo, dekat dengan jembatan Dutula Bone ke arah pelabuhan, adalah geolog pertama orang Indonesia. Ia diangkat sebagai profesor di ITB setelah menyelesaikan program doktornya pada 1960. Beliaulah salah seorang doktor dan profesor Indonesia pertama di bidang Geologi.

John Ario Katili
 – demikian nama lengkapnya – lahir di Gorontalo, 9 Juni 1929 dan meninggal di Jakarta, 19 Juni 2008 pada usia 79 tahun. Banyak geolog setelahnya, terinspirasi oleh tulisan-tulisan almarhum yang tersebar begitu luas, baik di jurnal-jurnal ilmiah maupun di media-media umum atau populer. Tulisan-tulisannya selalu memperkenalkan geologi, terutama tektonik dan gunung api, sebagai keahliannya. Tulisannya yang enak dibaca membawa Geologi pada tataran ilmu pengetahuan yang perlu untuk diketahui masyarakat luas. Sebelas buku-bukunya menjadi rujukan bagi para geolog atau mahasiswa yang mendalami Geologi. Bakat menulisnya bahkan bukan di bidang geologi saja. Di tabloid olah raga Bola, ia sempat mengulas analisis sepak bola Piala Dunia Perancis 1998 yang tentunya tidak ada hubungannya dengan Geologi, kecuali mungkin bahwa bulatnya bola seperti bulatnya Bumi.
Ketika ada kesempatan ke Gorontalo, bagaimana pun saya yang juga seorang geolog – juga sama-sama mengabdi di ITB – menyempatkan diri untuk menengok kampung tempat lahirnya Katili kecil. Dengan bentor, kendaraan beca bermotor yang menjadi kendaraan khas Gorontalo, ngebutlah saya ke Kampung Bugis. Dengan pegangan foto masjid Al Jauhar yang dimuat pada buku biografinya “Harta Bumi Indonesia”, akhirnya sampai juga di tempat itu.
Tapi rupanya rumah asli keluarga Katili telah lama berpindah tangan. Saat ini yang ada hanyalah tanah kosong dan bangunan toko telepon seluler. Tetapi Masjid Al Jauhar masih tetap sama seperti foto yang ada di buku itu. Bagaimanapun temuan itu cukup memuaskan karena merupakan kesempatan langka berziarah ke tempat lahirnya seorang tokoh nasional dan boleh dikatakan sebagai bapaknya Geologi Indonesia.
Tapi, Gorontalo di manakah sebenarnya engkau? Gorontalo totonu yio?
Sebelum delapan tahun yang lalu, Gorontalo hanyalah sebuah kabupaten di Provinsi Sulawesi Utara. Namanya mungkin hanya dikenal beberapa gelintir orang Indonesia. Namun setelah terpisah dari Provinsi Sulawesi Utara menjadi provinsi tersendiri, nama Gorontalo mulai banyak dikenal, khususnya ketika produksi jagung menjadi andalan komoditas utama provinsi muda ini. Jika berkunjung ke Gorontalo, di mana-mana akan terlihat hamparan kebun jagung yang luas.
Secara geografis, Provinsi Gorontalo berada pada bagian paling barat dari provinsi induk kira-kira antara 0°20’ – 1°3’ LU dan 121°10’ – 123°2’ BT. Wilayah ini umumnya merupakan pegunungan dan menyisakan hanya sedikit dataran, yaitu terutama di bagian tengah antara Paguyaman dan sekitar Danau Limboto, dan di pesisir selatan Pohuwato. Seperti umumnya wilayah Indonesia, iklimnya dipengaruhi iklim tropis basah. Pada musim kemarau atau disebut sebagai musim Barat, suhu bisa mencapai 33°C, tetapi bisa turun hingga 20°C pada musim Timur dengan curah hujan tinggi.
Fisiografi dan Geologi Gorontalo
Secara fisiografis, yaitu pembagian zona bentang alam yang merupakan representasi batuan dan struktur geologinya, Gorontalo dapat dibedakan ke dalam empat zona fisiografis utama, yaitu Zona Pegunungan Utara Telongkabila-Boliohuto, Zona Dataran Interior Paguyaman-Limboto, Zona Pegunungan Selatan Bone-Tilamuta-Modello, dan Zona Dataran Pantai Pohuwato.
Zona Pegunungan Utara Telongkabila-Boliohuto umumnya terdiri dari formasi-formasi batuan gunung api berumur Miosen – Pliosen (kira-kira 23 juta hingga 2 juta tahun yang lalu). Umumnya terdiri dari batuan beku intermedier hingga asam, yaitu batuan-batuan intrusif berupa diorit, granodiorit, dan beberapa granit. Batuan lainnya merupakan batuan sedimenter bersumber dari gunung api terdiri dari lava, tuf, breksi, atau konglomerat.
Asosiasi batuan-batuan tersebut membawa pada kandungan mineral logam yang berharga, khususnya emas. Tambang-tambang emas rakyat tersebar di zona ini, seperti di Dutula Nantu, sungai yang berasal dari Pegunungan Boliohuto (+ 2065 m). Namun, hampir seluruh zona ini merupakan bagian dari Taman Nasional Bogani Nani Wartabone atau Suaka Marga Satwa Nantu, sehingga eksplorasi yang lebih besar terhadap kandungan emas sulit untuk dilaksanakan. Namun justru dengan demikian, hal itu merupakan cadangan dan pusaka Gorontalo yang dapat diwariskan kelak di masa yang akan datang jika terjadi masa-masa yang paling sulit.
Zona kedua merupakan cekungan di tengah-tengah Provinsi Gorontalo, yaitu Dataran Interior Paguyaman-Limboto. Dataran yang cukup luas yang terbentang dari Lombongo sebelah timur Kota Gorontalo, menerus ke Gorontalo, Danau Limboto, hingga Paguyaman, dan Botulantio di sebelah barat, merupakan pembagi yang jelas antara pegunungan utara dan selatan. Dataran ini merupakan cekungan yang diduga dikontrol oleh struktur patahan normal seperti dapat diamati di sebelah utara Pohuwato di Pegunungan Dapi-Utilemba, atau di utara Taludaa di Gunung Ali, Bone.
Di Dataran Paguyaman hingga Danau Limboto, menurut Peta Geologi Lembar Tilamuta (Bachri, dkk. 1993), pada Kala Pleistosen (sejak 2 juta tahun yang lalu), pernah merupakan danau yang sangat luas. Bahkan, pada waktu yang sedikit lebih tua, yaitu pada Plio-Pleistosen, perbukitan sekeliling Danau Limboto adalah laut dangkal dengan terumbu karang, seperti Taman Wisata Laut Olele, tetapi pada waktu 2 juta tahun yang lalu.
Sejak itu, proses-proses tektonik telah mengangkat laut ini menjadi lebih dangkal yang akhirnya surut. Setelah menjadi dataran, cekungan ini menjadi danau yang luas. Tetapi kembali terjadi proses pendangkalan hingga sekarang dan hanya menyisakan Danau Limboto kira-kira seluas 56 km² dengan kedalaman 2,5 m yang merupakan kedalaman terdangkal dari seluruh danau di Indonesia (Lehmusluoto dan Machbub, 1997). Proses-proses tektonik pengangkatan daratan yang memang aktif di Indonesia Timur menyebabkan drainase menjadi lebih baik. Air danaupun berproses menyurut dan sekarang ditambah dengan proses sedimentasi dari perbukitan di sekilingnya yang mempercepat proses pendangkalan Danau Limboto.
Zona Pegunungan Selatan Bone-Tilamuta-Modello umumnya terdiri dari formasi-formasi batuan sedimenter gunung api berumur sangat tua di Gorontalo, yaitu Eosen – Oligosen (kira-kira 50 juta hingga 30 juta tahun yang lalu) dan intrusi-intrusi diorit, granodiorit, dan granit berumur Pliosen. Batuan gunung api tua umumnya terdiri dari lava basalt, lava andesit, breksi, batu pasir dan batu lanau, beberapa mengandung batu gamping yang termetamorfosis. Seperti halnya di utara, asosiasi batuan-batuan tersebut juga membawa pada kandungan mineral logam emas yang ditambang secara manual oleh rakyat, seperti di Bone Pantai, Tilamuta, dan Gunung Pani, Marisa.
Zona terakhir adalah zona yang relatif terbatas di Dataran Pantai Pohuwato. Dataran yang terbentang dari Marisa di timur hingga Torosiaje dan perbatasan dengan Provinsi Sulawesi Tengah di barat, merupakan aluvial pantai yang sebagain besar tadinya merupakan daerah rawa dan zona pasang-surut. Hingga sekarang, di bagian selatan, masih didapati rawa-rawa bakau (mangrove) yang luas, yang sebenarnya merupakan rumah bagi burung endemis Wallacea, burung maleo.
Dari zona fisiografis di atas, dapat dikatakan bahwa morfologi Gorontalo umumnya merupakan daerah pegunungan yang berrelief terjal, kecuali di Dataran Interior dan Dataran Aluvial Pantai. Batas-batas pegunungan terbentang hingga pantai. Pantai-pantai yang ada, baik di utara ke Laut Sulawesi, maupun di selatan ke Teluk Tomini, hanyalah pantai-pantai sempit atau berbatu-batu. Relief yang terjal memang sangat rawan terhadap longsor ataupun jatuhan batu. Erosi pun akan menjadi sangat peka jika lingkungan hutan pada lereng terjal berubah. Tetapi kondisi alam tersebut, dengan masih kecilnya pengaruh kerusakan lingkungan, menciptakan pemandangan yang mempesona, seperti contohnya sebuah teluk yang masih asri di sepanjang perjalanan dari Kwandang ke Atinggola di Kabupaten Gorontalo Utara.
Gempa Bumi
Gempa bumi 7,7 skala Richter yang terjadi pada tanggal 17 November 2008 yang fokus gempanya di Laut Sulawesi dengan kedalaman hanya 10 km harus menjadi perhatian. Walaupun gempa bumi tersebut mempunyai besaran yang menurut USGS 7,3 M tetapi tidak menimbulkan kerugian dan korban besar, namun sejarah kegempaan di Gorontalo sebelumnya menunjukkan terjadinya gempa bumi yang berpotensi merusak. Tahun 1941 Gorontalo pernah diguncang gempa dengan skala intensitas VIII MMI (merubuhkan rumah), diikuti pada 18 April 1990 dengan besaran 6,2 M dan 20 November 1991 dengan besaran 7,2 M.
Jika kita amati peta episenter gempa bumi yang terrekam di sekitar Gorontalo, akan kita dapati betapa rapatnya fokus-fokus gempa bumi, baik gempa dangkal, menengah, atau dalam. Dari peta itu, sedikitnya dapat disimpulkan bahwa gempa-gempa dangkal umumnya terkonsentrasi di utara Gorontalo di Laut Sulawesi, gempa menengah di bagian lengan Sulawesi di daratan Gorontalo, dan gempa dalam berada di Teluk Tomini.
Sampai sekarang para pakar belum dapat meramal dengan akurat tempat dan waktu munculnya gempa bumi, sehingga upaya yang paling baik adalah dengan melakukan mitigasi bencana. Mitigasi adalah usaha meningkatkan ketahanan masyarakat dalam menghadapi bencana jika bencana yang umumnya bersifat mendadak datang secara tiba-tiba. Usaha itu dapat berupa struktural, yaitu dengan membuat bangunan-bangunan tahan gempa atau tata ruang yang akrab terhadap bencana, maupun non-struktural, yaitu memberi pengetahuan dan keterampilan kepada masyarakat bagaimana mempersiapkan dan tanggap darurat terhadap bencana sehingga resiko bencana dapat diperkecil.
Kewaspadaan terhadap kemungkinan bencana gempa yang merusak sangat diperlukan mengingat jalur Gorontalo, Limboto, hingga Teluk Kwandang, dilalui oleh patahan yang diperkirakan aktif dan dikenal sebagai Sesar Gorontalo (Kertapati, 2006). Melalui sesar-sesar aktif itulah penjalaran gempa bumi terjadi. Apalagi susunan batuan lunak bekas endapan danau, dan lereng-lereng terjal di perbukitan sekitarnya merupakan tempat-tempat yang tidak baik untuk fondasi bangunan, kecuali setelah melalui perhitungan teknik sipil yang cermat.
Di balik itu semua, dalam kondisi tektonik aman, aktivitas proses-proses kebumian berjalan secara menyenangkan. Melalui patahan-patahan itu pula, air panas dapat keluar dan dimanfaatkan untuk rekreasi atau terapi air hangat, seperti terdapat di Lombongo yang sayangnya tutup akibat banjir bandang di bulan November 2007. Di Pentadio, Limboto, yang dikembangkan menjadi resort, taman rekreasi air panas mempunyai suhu terukur di termometer batang saat EGI V menunjukkan kisaran 64° – 78°C. Sangat panas untuk suatu mata air panas yang jauh dari lingkungan gunung api aktif. Bahkan menurut penjaga pos Suaka Marga Satwa Nantu, kubangan tempat babirusa berkumpul pun merupakan rembasan air hangat yang mengandung belerang. Para babirusa memerlukan air belerang sebagai penawar racun bagi buah pangi yang merupakan makanan utamanya.
Begitulah sekilas kondisi geologi Gorontalo. Di satu sisi menimbulkan harapan akan cadangan sumber daya bumi yang melimpah, di sisi lain menimbulkan ancaman. Di dalam salah satu prinsip tentang keselamatan kerja disebutkan bahwa kita harus bertindak berdasarkan batasan-batasan disain dan lingkungan, termasuk disain dan lingkungan alam. Menghadapi kondisi alam memang diperlukan kearifan. Dulo ito momongu lipu – mari kita membangun daerah – dengan arif dan bijaksana.
Penulis : Budi Brahmantyo
Artikel di buku Ekspedisi Geografi Indonesia 2009 Gorontalo (Bakosurtanal 2009)
Pustaka
·         Adra’I, K., A.N. Diponegoro, D. Untari, I. Haryana, R.H. Uno, dan A. Katili (2007), Biografi J.A. Katili: Harta Bumi Indonesia, Grasindo, Jakarta.
·         Apandi, T., dan S. Bachri (1997), Peta Geologi Lembar Kotamubagu, Sulawesi, skala 1:250.000, Puslitbang Geologi, Bandung.
·         Bachri, S., Sukido, dan N. Ratman (1993), Peta Geologi Lembar Tilamuta, Sulawesi, skala 1:250.000, Puslitbang Geologi, Bandung.
·         Kertapati, E.K. (2006), Aktivitas Gempabumi di Indonesia, Perspektif Regional pada Karakteristik Gempabumi Merusak; PSG, Bandung.
·         Lehmusluoto, P. and B. Machbub, (1997). National Inventory of the Major Lakes and Reservoirs in Indonesia, Expedition Indodanau Technical Report, Revised Ed., Research. Inst. For Water Res. Dev., Min. of Public Works, Rep. of Indonesia, and Dept. of Limnology and Env. Protection, University of Helsinki, Finland, Helsinki.
·         Supartoyo, dan Surono, (2008), Katalog Gempabumi Merusak di Indonesia Tahun 1629-2008 (Edisi keempat),Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Bandung.

 Silahkan download Versi PDF disini
Sumber : hulondhalo.com
Selengkapnya....

Makna Adat Gorontalo

Aspek adat penyambutan merupakan salah satu peradatan yang terdapat dalam budaya masyarakat Gorontalo. Aspek ini terdapat pada seluruh wilayah Gorontalo yang dari dulu sampai sekarang dikenal dengan nama “Duluo lo u limo lo pohalaqa”. Susunan yang dituangkan dalam tulisan ini merupakan paduan dari adat penyambutan yang diperoleh dari beberapa kecamatan di daerah Gorontalo yang dianggap dapat mewakili baik ditinjau dari segi jaraknya dari pusat kota, maupun dari segi peragaman wilayah. Setelah diadakan pendataan, ternyata ada persamaan yang fundamental dari peradatan ini pada tiap wilayah. Oleh sebab itu paduan ini sudah merupakan kebijakan yang mempertemukan unsur-unsur yang dominan dari pada keragaman itu.

Dasar pemanduan itu dipertimbangkan dari :
·         untuk mendapatkan satu sistem pelaksanaan sebagai satu adat yang baku dan berlaku di daerah Gorontalo, tanpa melihat variasi;
·         untuk mendapat efisiensi dan efektifitas dalam pelaksanaan , sehingga akan diperoleh penyederhanaan baik dalam segi waktu, biaya dan tenaga;
·         untuk menciptakan suatu adat yang praktis, sehingga merupakan susunan peradatan yang siap pakai apabila dibutuhkan;
·         untuk meluweskan (fleksibilitas) acara peradatan ini pada masa-masa mendatang, sehingga tidak menyulitkan apabila ada penyesuaian-penyesuaian.
Susunan yang dituliskan dalam pola ini tidak terlalu mengikat, sebab yang dapat disatukan hanyalah susunan, urutan dan dasar serta hakekatnya. Sedangkan yang menyangkut segi teknik operasional, serta pengiring acara (tuja’i) dapat disesuaikan dengan kondisi. Tentu saja tulisan ini disesuaikan dengan relevansi perkembangan yang ada dalam kenyataan sekarang. Penyesuaian selalu saja dimungkinkan asalkan ada kesepakatan antara pemerintah, pemangku adat, dan pelaksana lainnya. Tuja’i di dalam tulisan ini hanya contoh saja.
A. Dasar, Hakikat, dan Makna
Adat istiadat adalah suatu komplek norma-norma yang oleh individu-individu yang menganutnya dijunjung tinggi dalam kehidupan. Adat istiadat ini walaupun dianggap bersifat tetap (mores) namun akan berubah didalam suatu jangka waktu yang lama. Bahkan dalam kehidupan, manusia sering menghindari dan melanggar adat yang tidak cocok dengan kebutuhan hidup pada masa tertentu. Hal ini disebabkan, manusia selalu bersifat dinamis (Koentjaraningrat, “Bunga Rampai Kebudayaan, Mentaliteit dan Pembangunan”, 1974:85). Adat itu sering menjadi Undang-undang kehidupan manusia zaman dulu. Di samping itu ada bagian-bagian yang berubah disebabkan keadaan masyarakat yang mengalami perkembangan. Pada umumnya suatu adat itu mempunyai dasar bertata tingkat, yaitu :
1.     tingkat nilai budaya,
2.     tingkat norma-norma,
3.     tingkat hukum,
4.     tingkat aturan khusus.
Dasar ini terdapat juga dalam adat penyambutan Gorontalo, yang merupakan titik tolak timbulnya adat itu, maknanya bagi masyarakat, dan hakekat yang terkandung di dalamnya. Hal itu akan dijabarkan dalam uraian di bawah ini.
B. Dasar Adat Penyambutan
Peradatan ini pada prinsipnya didasarkan pada :
1.     Sistem peradatan yang telah turun-temurun sejak dari dulu sampai sekarang seperti yang dinyatakan dengan ungkapan adat sebagai berikut: “maalo kakali, lonto butu auali, to hulia waliwali” (sudah tetap, dari awal mula, dan kini berlaku):
2.     Adanya penyesuaian dengan hokum-hukum ajaran agama Islam, seperti yang kita kenal ‘adat bersendikan syarak dan bersendikan kitabullah’).
C. Hakekat
Secara umum hakekat upacara penyambutan secara adat adalah salah satu aspek dari implementasi kemanusiaan yang beradab. Hakekat umum ini tentu saja akan dapat diwujudkan melalui penjabaran sebagai berikut :
1.     Segala sesuatu sudah teratur, sehingga setiap orang tinggal melaksanakan. Dalam bahasa Gorontalo ada semboyan: “aadati maa dili-dilito, bolo mopo’aito, aadati maahunti-huntingo, bolo mopodembingo, aadati maa dutu-dutu, bolo mopohutu”. Artinya: adat sudah dipolakan, tinggal menyambungkan, adat sudah digunting, tinggal menempelkan, adat sudah ada, tinggal melaksanakan.
2.     Dengan adanya pola dan susunan yang sudah tetap itu, maka dalam pelaksanaannya tercakup meningkatkan disiplin dalam semua kegiatan hidup.
3.     Kita menghormati dan menghargai orang yang patut dihormati dan dihargai, sebagai orang tua yang berkedudukan, yang merupakan perwujudan tata krama dan sopan santun. Walaupun pada dasarnya manusia sama, tetapi Tuhan memberikan amanah kepada seseorang yang dikehendaki-Nya. Amanah itulah yang dihormati oleh rakyat yang berketuhanan. Dalam masyarakat Gorontalo dikenal kata-kata arif sebagai berikut :
Wolipopo to didi lo baya >> Kunang-kunang (amanah) pada dahi
Tuau lo humaya >> Merupakan suatu tanda
U wito u tombuluo >> Itu yang dihormati
Tuoto tio woluo >> Pertanda bahwa Ia (Tuhan) itu ada
Penghormatan itu sebenarnya ditujukan kepada Tuhan dengan melalui “poquda’a” ( yang dihormati).
D. Makna
Makna yang terkandung dalam adat penyambutan dapat ditinjau dari beberapa segi :
1.     Makna penyambutan bagi yang disambut. Memuliakan serta menghormati orang yang disambut. Orang yang disambut sebenarnya meninggalkan sifat dan tabiatnya, walaupun ia tetap menampakan sifatnya yang baik, di samping menemukan kebiasaan lain. Pada saat ia menemukan kebiasaan lain itu, maka ia harus memakai dan menerapkan kebiasaan itu. Dalam kata-kata arif bahasa Gorontalo dikenal dengan: “mo’otola ayua, mo’odelo ayua, mo’odungga ayua, mopotuwoto ayua”.
2.     Makna penyambutan bagi masyarakat Gorontalo.
o    Hal itu sebagai pertanda bahwa masyarakat Gorontalo menjunjung tinggi penghormatan kepada tamu
o    Menghormati tamu berarti menghormati diri sendiri, serta menghormati masyarakat Gorontalo.
o    Dalam penyambutan itu terkandung tata krama dan keramahan masyarakat Gorontalo.
o    Menyambut tamu juga sebagai bukti ketinggian dan keluhuran budi masyarakat Gorontalo.
3.     Makna penyambutan bagi agama
o    Kita berusaha memperkuat kedudukan adat yang sudah diciptakan dan diturunkan oleh leluhur kita. Itulah makna: “aadati maa dili-dilito, bolo mopo’aito, aadati maa dutu-dutu bolo mopohutu” (adat sudah dipolakan, tinggal menyambung, adat sudah ada, tinggal melaksanakan).
o    Pelaksanaan penyambutan ini merupakan penetapan kedudukan tamu secara adat dalam masyarakat dan wilayah adat Gorontalo.
4.     Makna penyambutan bagi agama.
Adat penyambutan di Gorontalo didukung oleh hadist: Mankanaa yuqmirubilla hi wabil yaumil aakhiri falyukmiru dlaifahu. Artinya: barang siapa yang percaya kepada Allah dan hari kemudian, maka ia harus menghormati tamu. Disamping itu ada lagi dasar hadist yang lain: La yu’miru ahadukum hatta yukmiru ma jaarahu an dlaifahu. Artinya: belumlah beriman di antara kamu kalau tidak menghormati (menghargai) tamu dan tetangga. Penyambutan ini apabila ditinjau dari segi agama mempunyai makna mendukung nilai-nilai keimanan.
E. Persyaratan dan Tanda yang Disambut
1.     Yang perlu disambut terdiri dari :
o    Tamu yang mempunyai kedudukan seperti Presiden, Menteri, Gubernur.
o    Pejabat pemerintah yang akan dinobatkan seperti Bupati/Walikota (ta’uwa lo madala; ta’uwa lo hua; ta’uwa lo linggua dan ta’uwa lo data), Pembantu Bupati (Hohuhu), Camat (wulea lo Lipu).
o    Tamu yang menurut Bupati / Walikota, Pembantu Bupati, Camat dan pemangku adat dapat dan perlu disambut secara adat.
2.     Persyaratan bagi yang disambut.
Yang disambut harus memenuhi persyaratan tertentu :
o    Beragama. Agama menjadi persyaratan bagi yang disambut secara adat, karena peradatan penyambutan tamu ini berdasarkan kepada “adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah”. Persyaratan ini sesuai pula dengan Dasar Negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
o    Tamu yang disambut minimal memakai kopiah (hitam) dengan kemeja lengan panjang atau pakai jas (dapat disesuaikan dengan situasi asal tidak menyalahi kesopanan)
o    Bagi ‘Olongia (Bupati/Walikota)’, Huhuhu (Pembantu Bupati), Wulea lo Lipu (Camat), wajib memakai pakaian sebagai berikut:
a. pakaian Olongia (Bupati/Walikota) :
o    bo’o takowa da’a’ atau ‘kimunu da’a’, semacam jas tutup sampai ke leher dan berwarna hitam;
o    talala da’a’ (celana kebesaran): celana putih yang mempunyai bis kuning pada sisi kiri dan kanannya;
o    paluala atau alapia’ : kopiah dengan bis kuning yang melingkar di tengah dinding dari muka ke belakang;
o    sepatu warna hitam;
o    sarung berwarna kekuning-kuningan, dililitkan di pinggang dalam keadaan terlipat dua dan ujungnya tersembul kira-kira satu telapak tangan dari ujung bawah boqo takowa da’a.
Makna yang terkandung dari pakaian itu adalah sebagai berikut : bo’o takowa da’a artinya baju dari orang – orang yang bertakwa. Warna hitam melambangkan bahwa olongia membawa atau memikul amanat dan tanggung jawab yang berat yang dipercayakan oleh rakyat kepadanya. Warna putih melambangkan kesucian, sedang bis kuning di pinggir celana itu artinya kebesaran atau kemuliaan. Kopiah yang berbis kuning biasa disebut ‘upia tilambi’a lo hulawa’ (kopiah bersepuh emas) artinya hokum (buto’o) yang dijunjung tinggi oleh raja. Sepatu sebagai pertanda orang itu terpisah dari najis atau kotoran.
b. Pakaian ‘Hohuhu’ (Pembantu Bupati)
Pakaian Pembantu Bupati adalah sama dengan pakaian para Bupati dan Walikota. Tetapi kalau pada Bupati dan Walikota sarung dililitkan pada bagian dalam dari Bo’o Takowa, maka pada Pembantu Bupati sarung itu dililitkan di luar Bo’o Takowa itu.
c. Pakaian Wulea lo lipu (Camat)
Camat yang akan disambut wajib memakai pakaian sebagai berikut :
o    kimono berwarna putih;
o    celana panjang berwarna putih;
o    paluala (kopiah) sama dengan pada Bupati dan Walikota;
o    sarung kekuning-kuningan, dililitkan dalam keadaan terlipat dua pada pinggang dan di atas atau di luar kimono;
o    sepatu berwarna hitam.
Makna pakaian itu adalah :
Warna putih artinya suci kepribadiannya, sehingga ia di samping sebagai kepala pemerintahan juga menjadi kepala adat di wilayahnya. Yang lainnya sama dengan olongia. Sarung dililitkan di luar artinya bekerja tanpa pamrih, menutup saku untuk tidak menerima sogokan-sogokan dalam menjalankan tugasnya.
3.     Orang yang disambut hendaklah berbudi pekerti yang luhur serta bersedia menerima penyambutan secara adat. Maksudnya orang yang disambut itu hendaklah menghargai adat yang diperlakukan kepadanya. Karena itu ia harus bertingkah laku yang baik (sopan santun), penampilan yang agung. Dalam kata-kata arif dikatakan: “huta duta-duta’o, hulungo wuntu-wuntu” (di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung).
4.     Kalau yang disambut itu tamu perempuan maka sebaiknya ia memakai kebaya, memakai batik (‘bide-bide’), dan memakai sunti (semacam konde yang bertahtakan emas). Di samping itu memakai selempang warna polos.
F. Saat Diadakan Penyambutan
1.     Penyambutan tamu.Penyambutan bagi tamu diadakan apabila :
o    Kedatangan tamu yang berpangkat (pemimpin) yang berhubungan dengan tata pemerintahan daerah Gorontalo;
o    Kedatangan tamu Pemerintah seperti Presiden, Menteri, Gubernur, Pembantu Gubernur untuk urusan dinas;
o    Kedatangan tamu dari luar negeri yang berhubungan dengan tata pemerintahan daerah seperti Duta, Konsul atau tamu Negara;
o    Kunjungan seorang pejabat untuk pertama kali dalam wilayah adat Gorontalo.
2.     Penyambutan Olongia, Huhuhu dan Wulea lo Lipu
Pejabat pemerintah di daerah Gorontalo seperti Bupati dan Walikota, Pembantu Bupati dan Camat perlu disambut secara adat pada saat :
o    Apabila dinobatkan sebagai Kepala Pemerintahan;
o    Apabila berpindah dari satu tempat (wilayah) ke tempat (wilayah) lain;
o    Apabila mengadakan perkunjungan pertama atau pemeriksaan atau pemeriksaan wilayah (moloqopa lipu);
o    Apabila datang ke peringatan atau ibadah hari-hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha, Maulid, Asyura dan hari Jumat.
3.     Frekuensi penyambutan
o    Tamu hanya sekali disambut secara adat di daerah adat Gorontalo;
o    Bagi Olongia, Huhuhu, Wulea lo Lipu hanya sekali disambut secara adat apabila mengadakan perkunjungan atau pemeriksaan wilayah;
o    Penyambutan dalam rangka penobatan hanya sekali diadakan bagi seseorang pada wilayah pemerintahannya
4.     Tempat penyambutan
o    Tamu disambut pada saat memasuki wilayah adat Gorontalo. Apabila tamu melalui laut disambut di pelabuhan, apabila tamu melalui darat disambut di perbatasan dan apabila melalui udara disambut di lapangan terbang.
o    Olongia, Huhuhu, Wulea lo Lipu yang akan dinobatkan disambut mulai dari rumah kediamannya.
o    Olongia, Huhuhu, Wulea lo Lipu yang akan mengadakan perjalanan atau pemeriksaan wilayah disambut di setiap perbatasan wilayah.
o    Olongia, Huhuhu, Wulea lo Lipu yang akan pergi ke tempat shalat atau ke tempat upacara hari-hari besar Islam disambut mulai dari yilada (istana).
G. Golongan dan Pakaian Penyambut dan yang Disambut.
1.     Golongan Penyambut
Penyambut dalam upacara penyambutan adat terdiri dari tiga golongan :
o    Golongan pemangku adat, yang dikenal dengan golongan ‘baate’ dan wuqu serta pembantunya. Mereka disebut buatulo Aadati;
o    Golongan agama disebut Buatulo Sara’a;
o    Golongan talenga Da’a dengan pembantunya (bagian keamanan upacara secara adat, di Suwawa disebut golongan Bakla dan Limboto disebut Buatulo Bala.
2.     Pakaian Penyambut
o    ‘Baate’ dan ‘Wu’u’ dahulu berbeda dalam kedudukan. Wu’u adalah pangkat yang timbul karena kebutuhan pada saat itu di Suwawa dan bersifat nonstructural. Baate merupakan istilah yang berasal dari Gowa (Bate-batena), kemudian dipakai dalam peradatan di Gorontalo. Tetapi sekarang kedua panggilan/gelar itu dianggap sama, hanya wilayah panggilan yang berbeda. Baate dipakai di Limboto, sedangkan Wuqu dipakai di Suwawa. Di wilayah Gorontalo (Kotamadya Gorontalo), Bulango (Tapa) dan di Atingola kedua panggilan itu (Wu’u dan Baate) dipergunakan sama. Dalam masyarakat Gorontalo dikenal :
Ma pilapota yilalae
Di duulu hi lebe-lebea
Ma yilalae pilopota
Diduulu hi labo-labota
Artinya :
Janur telah dipotong rata
Tiada yang lebih dari yang lain
Janur telah dipotong rata
Tiada yang tinggi dan yang rendah
Dalam sajak (tuja’i) ini kedudukan Baate dan Wu’u dipandang sama dalam tugas peradatan. Seperti kita ketahui kerajaan Suwawa adalah sponsor pendirian kerajaan Gorontalo, sehingga adatnya banyak yang harus disesuaikan dengan kerajaan tersebut. Ketika Limo lo Pohala’a dalam masa jayanya dimana Suwawa diakui sebagai Lipu Tiombu Lahidia. Tetapi ketika pemerintah Belanda yang tidak ingin kedudukan unik dari Suwawa dalam perserikatan negara itu, dan Suwawa juga tidak mau bekerja sama dengan Belanda, maka kehadiran Wu’u pada upacara-upacara di Limboto dan Gorontalo sangat jarang. Tetapi pemangku adat selalu menganggap Wu’u hadir dalam upacara. Wu’u selalu diseru, dan dijabat oleh seseorang pemangku adat.
Kedudukan Baate dan Wu’u bukan kedudukan yang turun-temurun, tetapi didasarkan pada kesepakatan bersama. Untuk menjadi seorang Baate harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
(1) sikap yang baik terhadap masyarakat;
(2) mempunyai pengetahuan yang luas tentang adat dan agama;
(3) mempunyai ketrampilan sebagai Baate (mo’odelo).
Dalam penyambutan maka Baate ini menjadi pemimpin dan pengatur pelaksanaan adat Pakaiannya terdiri dari :
• Kimono panjang dan celana panjang berwarna ungu (u ulito atau hungo lo alata);
• Payungo atau destar, yaitu kain batik yang berwarna cokelat yang dililitan di kepala;
• Eluto, semacam senjata tajam dengan ukuran sedang yang diselipkan di pinggang;
• Sepatu berwarna hitam.
o    Kimalaha dan pakaiannya
Kimalaha menurut Dr. S.R. Nur, SH, berasal dari bahasa Ternate yang berarti orang yang baik. Kimalaha ini menjadi pembantu Baate dan Wu’u pada saat upacara adat penyambutan. Sekarang ini Kimalaha dikenal di Limboto dan di Gorontalo.
Di Limboto masing-masing :
(1) Kimalaha Hungayo,
(2) Kimalaha Dunito,
(3) Kimalaha Botu,
(4) Kimalaha Ipilo,
Di Gorontalo masing-masing :
(1) Kimalaha Tapa,
(2) Kimalaha Huangobotu,
(3) Kimalaha Padengo
(4) Kimalaha Biawa’o.
Menurut Dr. S.R. Nur, SH keempat Kimalaha di Limboto itu dulu dikenal dengan U Dudula’a Wopato. Pakaian para Kimalaha itu pada upacara penyambutan adat sebagai berikut :
• Kimono berwarna polos;
• Celana panjang warna putih;
• Payungo atau destar yang berkain batik berwarna hitam coklat, di atas kepala;
• Memakai sepatu.
o    Olowala lo pulanga dan Oloihi lo pulanga
Di samping Kimalaha, Baate dibantu oleh dua perangkat pemangku adat lain yang sudah mendapat gelar. Mereka terbagi dua sesuai posisi dalam penyambutan. Di beberapa daerah dikenal dengan Bubato Olowala dan Bubato Oloihi. Bubato Olowala pembuat undang-undang dan Bubato Oloihi pelaksana pemerintahan dan upacara.
Mereka masing-masing adalah :
Molowahu : bertugas mengamat-amati segala pelaksanaan upacara adat dan melaporkan kepada Baate.
Limehe : bertugas melaksanakan acara tilolo dan dudelo.
Bubode : bertugas mempersiapkan perlengkapan bagian dalam istana (yiladia).
Bi’u : bertugas mempersiapkan bahan-bahan di luar/halaman istana (yiladia).
Buhu : bertugas mempersiapkan peradatan yang akan dipersembahkan kepada tamu.
Lamu : bertugas mengatur tamu dan tempat duduk mereka.
Lolodato : bertugas mengadakan musyawarah (dulohupa) dan mengundang.


source : gorontalofamily
Selengkapnya....

PHOTO GALERRY

VIDEO