Totonu Yio Gorontalo?


Apa persamaan antara Gorontalo dan Geologi? Jawabannya sangat mudah, keduanya mengandung huruf G, L, dan O. Tapi jawaban yang lebih serius, Gorontalo dengan Geologi bagaimana pun tidak dapat terpisahkan dengan Prof. J. A. Katili. Ia yang terlahir di Kampung Bugis, Kecamatan Kota Timur, Kota Gorontalo, dekat dengan jembatan Dutula Bone ke arah pelabuhan, adalah geolog pertama orang Indonesia. Ia diangkat sebagai profesor di ITB setelah menyelesaikan program doktornya pada 1960. Beliaulah salah seorang doktor dan profesor Indonesia pertama di bidang Geologi.

John Ario Katili
 – demikian nama lengkapnya – lahir di Gorontalo, 9 Juni 1929 dan meninggal di Jakarta, 19 Juni 2008 pada usia 79 tahun. Banyak geolog setelahnya, terinspirasi oleh tulisan-tulisan almarhum yang tersebar begitu luas, baik di jurnal-jurnal ilmiah maupun di media-media umum atau populer. Tulisan-tulisannya selalu memperkenalkan geologi, terutama tektonik dan gunung api, sebagai keahliannya. Tulisannya yang enak dibaca membawa Geologi pada tataran ilmu pengetahuan yang perlu untuk diketahui masyarakat luas. Sebelas buku-bukunya menjadi rujukan bagi para geolog atau mahasiswa yang mendalami Geologi. Bakat menulisnya bahkan bukan di bidang geologi saja. Di tabloid olah raga Bola, ia sempat mengulas analisis sepak bola Piala Dunia Perancis 1998 yang tentunya tidak ada hubungannya dengan Geologi, kecuali mungkin bahwa bulatnya bola seperti bulatnya Bumi.
Ketika ada kesempatan ke Gorontalo, bagaimana pun saya yang juga seorang geolog – juga sama-sama mengabdi di ITB – menyempatkan diri untuk menengok kampung tempat lahirnya Katili kecil. Dengan bentor, kendaraan beca bermotor yang menjadi kendaraan khas Gorontalo, ngebutlah saya ke Kampung Bugis. Dengan pegangan foto masjid Al Jauhar yang dimuat pada buku biografinya “Harta Bumi Indonesia”, akhirnya sampai juga di tempat itu.
Tapi rupanya rumah asli keluarga Katili telah lama berpindah tangan. Saat ini yang ada hanyalah tanah kosong dan bangunan toko telepon seluler. Tetapi Masjid Al Jauhar masih tetap sama seperti foto yang ada di buku itu. Bagaimanapun temuan itu cukup memuaskan karena merupakan kesempatan langka berziarah ke tempat lahirnya seorang tokoh nasional dan boleh dikatakan sebagai bapaknya Geologi Indonesia.
Tapi, Gorontalo di manakah sebenarnya engkau? Gorontalo totonu yio?
Sebelum delapan tahun yang lalu, Gorontalo hanyalah sebuah kabupaten di Provinsi Sulawesi Utara. Namanya mungkin hanya dikenal beberapa gelintir orang Indonesia. Namun setelah terpisah dari Provinsi Sulawesi Utara menjadi provinsi tersendiri, nama Gorontalo mulai banyak dikenal, khususnya ketika produksi jagung menjadi andalan komoditas utama provinsi muda ini. Jika berkunjung ke Gorontalo, di mana-mana akan terlihat hamparan kebun jagung yang luas.
Secara geografis, Provinsi Gorontalo berada pada bagian paling barat dari provinsi induk kira-kira antara 0°20’ – 1°3’ LU dan 121°10’ – 123°2’ BT. Wilayah ini umumnya merupakan pegunungan dan menyisakan hanya sedikit dataran, yaitu terutama di bagian tengah antara Paguyaman dan sekitar Danau Limboto, dan di pesisir selatan Pohuwato. Seperti umumnya wilayah Indonesia, iklimnya dipengaruhi iklim tropis basah. Pada musim kemarau atau disebut sebagai musim Barat, suhu bisa mencapai 33°C, tetapi bisa turun hingga 20°C pada musim Timur dengan curah hujan tinggi.
Fisiografi dan Geologi Gorontalo
Secara fisiografis, yaitu pembagian zona bentang alam yang merupakan representasi batuan dan struktur geologinya, Gorontalo dapat dibedakan ke dalam empat zona fisiografis utama, yaitu Zona Pegunungan Utara Telongkabila-Boliohuto, Zona Dataran Interior Paguyaman-Limboto, Zona Pegunungan Selatan Bone-Tilamuta-Modello, dan Zona Dataran Pantai Pohuwato.
Zona Pegunungan Utara Telongkabila-Boliohuto umumnya terdiri dari formasi-formasi batuan gunung api berumur Miosen – Pliosen (kira-kira 23 juta hingga 2 juta tahun yang lalu). Umumnya terdiri dari batuan beku intermedier hingga asam, yaitu batuan-batuan intrusif berupa diorit, granodiorit, dan beberapa granit. Batuan lainnya merupakan batuan sedimenter bersumber dari gunung api terdiri dari lava, tuf, breksi, atau konglomerat.
Asosiasi batuan-batuan tersebut membawa pada kandungan mineral logam yang berharga, khususnya emas. Tambang-tambang emas rakyat tersebar di zona ini, seperti di Dutula Nantu, sungai yang berasal dari Pegunungan Boliohuto (+ 2065 m). Namun, hampir seluruh zona ini merupakan bagian dari Taman Nasional Bogani Nani Wartabone atau Suaka Marga Satwa Nantu, sehingga eksplorasi yang lebih besar terhadap kandungan emas sulit untuk dilaksanakan. Namun justru dengan demikian, hal itu merupakan cadangan dan pusaka Gorontalo yang dapat diwariskan kelak di masa yang akan datang jika terjadi masa-masa yang paling sulit.
Zona kedua merupakan cekungan di tengah-tengah Provinsi Gorontalo, yaitu Dataran Interior Paguyaman-Limboto. Dataran yang cukup luas yang terbentang dari Lombongo sebelah timur Kota Gorontalo, menerus ke Gorontalo, Danau Limboto, hingga Paguyaman, dan Botulantio di sebelah barat, merupakan pembagi yang jelas antara pegunungan utara dan selatan. Dataran ini merupakan cekungan yang diduga dikontrol oleh struktur patahan normal seperti dapat diamati di sebelah utara Pohuwato di Pegunungan Dapi-Utilemba, atau di utara Taludaa di Gunung Ali, Bone.
Di Dataran Paguyaman hingga Danau Limboto, menurut Peta Geologi Lembar Tilamuta (Bachri, dkk. 1993), pada Kala Pleistosen (sejak 2 juta tahun yang lalu), pernah merupakan danau yang sangat luas. Bahkan, pada waktu yang sedikit lebih tua, yaitu pada Plio-Pleistosen, perbukitan sekeliling Danau Limboto adalah laut dangkal dengan terumbu karang, seperti Taman Wisata Laut Olele, tetapi pada waktu 2 juta tahun yang lalu.
Sejak itu, proses-proses tektonik telah mengangkat laut ini menjadi lebih dangkal yang akhirnya surut. Setelah menjadi dataran, cekungan ini menjadi danau yang luas. Tetapi kembali terjadi proses pendangkalan hingga sekarang dan hanya menyisakan Danau Limboto kira-kira seluas 56 km² dengan kedalaman 2,5 m yang merupakan kedalaman terdangkal dari seluruh danau di Indonesia (Lehmusluoto dan Machbub, 1997). Proses-proses tektonik pengangkatan daratan yang memang aktif di Indonesia Timur menyebabkan drainase menjadi lebih baik. Air danaupun berproses menyurut dan sekarang ditambah dengan proses sedimentasi dari perbukitan di sekilingnya yang mempercepat proses pendangkalan Danau Limboto.
Zona Pegunungan Selatan Bone-Tilamuta-Modello umumnya terdiri dari formasi-formasi batuan sedimenter gunung api berumur sangat tua di Gorontalo, yaitu Eosen – Oligosen (kira-kira 50 juta hingga 30 juta tahun yang lalu) dan intrusi-intrusi diorit, granodiorit, dan granit berumur Pliosen. Batuan gunung api tua umumnya terdiri dari lava basalt, lava andesit, breksi, batu pasir dan batu lanau, beberapa mengandung batu gamping yang termetamorfosis. Seperti halnya di utara, asosiasi batuan-batuan tersebut juga membawa pada kandungan mineral logam emas yang ditambang secara manual oleh rakyat, seperti di Bone Pantai, Tilamuta, dan Gunung Pani, Marisa.
Zona terakhir adalah zona yang relatif terbatas di Dataran Pantai Pohuwato. Dataran yang terbentang dari Marisa di timur hingga Torosiaje dan perbatasan dengan Provinsi Sulawesi Tengah di barat, merupakan aluvial pantai yang sebagain besar tadinya merupakan daerah rawa dan zona pasang-surut. Hingga sekarang, di bagian selatan, masih didapati rawa-rawa bakau (mangrove) yang luas, yang sebenarnya merupakan rumah bagi burung endemis Wallacea, burung maleo.
Dari zona fisiografis di atas, dapat dikatakan bahwa morfologi Gorontalo umumnya merupakan daerah pegunungan yang berrelief terjal, kecuali di Dataran Interior dan Dataran Aluvial Pantai. Batas-batas pegunungan terbentang hingga pantai. Pantai-pantai yang ada, baik di utara ke Laut Sulawesi, maupun di selatan ke Teluk Tomini, hanyalah pantai-pantai sempit atau berbatu-batu. Relief yang terjal memang sangat rawan terhadap longsor ataupun jatuhan batu. Erosi pun akan menjadi sangat peka jika lingkungan hutan pada lereng terjal berubah. Tetapi kondisi alam tersebut, dengan masih kecilnya pengaruh kerusakan lingkungan, menciptakan pemandangan yang mempesona, seperti contohnya sebuah teluk yang masih asri di sepanjang perjalanan dari Kwandang ke Atinggola di Kabupaten Gorontalo Utara.
Gempa Bumi
Gempa bumi 7,7 skala Richter yang terjadi pada tanggal 17 November 2008 yang fokus gempanya di Laut Sulawesi dengan kedalaman hanya 10 km harus menjadi perhatian. Walaupun gempa bumi tersebut mempunyai besaran yang menurut USGS 7,3 M tetapi tidak menimbulkan kerugian dan korban besar, namun sejarah kegempaan di Gorontalo sebelumnya menunjukkan terjadinya gempa bumi yang berpotensi merusak. Tahun 1941 Gorontalo pernah diguncang gempa dengan skala intensitas VIII MMI (merubuhkan rumah), diikuti pada 18 April 1990 dengan besaran 6,2 M dan 20 November 1991 dengan besaran 7,2 M.
Jika kita amati peta episenter gempa bumi yang terrekam di sekitar Gorontalo, akan kita dapati betapa rapatnya fokus-fokus gempa bumi, baik gempa dangkal, menengah, atau dalam. Dari peta itu, sedikitnya dapat disimpulkan bahwa gempa-gempa dangkal umumnya terkonsentrasi di utara Gorontalo di Laut Sulawesi, gempa menengah di bagian lengan Sulawesi di daratan Gorontalo, dan gempa dalam berada di Teluk Tomini.
Sampai sekarang para pakar belum dapat meramal dengan akurat tempat dan waktu munculnya gempa bumi, sehingga upaya yang paling baik adalah dengan melakukan mitigasi bencana. Mitigasi adalah usaha meningkatkan ketahanan masyarakat dalam menghadapi bencana jika bencana yang umumnya bersifat mendadak datang secara tiba-tiba. Usaha itu dapat berupa struktural, yaitu dengan membuat bangunan-bangunan tahan gempa atau tata ruang yang akrab terhadap bencana, maupun non-struktural, yaitu memberi pengetahuan dan keterampilan kepada masyarakat bagaimana mempersiapkan dan tanggap darurat terhadap bencana sehingga resiko bencana dapat diperkecil.
Kewaspadaan terhadap kemungkinan bencana gempa yang merusak sangat diperlukan mengingat jalur Gorontalo, Limboto, hingga Teluk Kwandang, dilalui oleh patahan yang diperkirakan aktif dan dikenal sebagai Sesar Gorontalo (Kertapati, 2006). Melalui sesar-sesar aktif itulah penjalaran gempa bumi terjadi. Apalagi susunan batuan lunak bekas endapan danau, dan lereng-lereng terjal di perbukitan sekitarnya merupakan tempat-tempat yang tidak baik untuk fondasi bangunan, kecuali setelah melalui perhitungan teknik sipil yang cermat.
Di balik itu semua, dalam kondisi tektonik aman, aktivitas proses-proses kebumian berjalan secara menyenangkan. Melalui patahan-patahan itu pula, air panas dapat keluar dan dimanfaatkan untuk rekreasi atau terapi air hangat, seperti terdapat di Lombongo yang sayangnya tutup akibat banjir bandang di bulan November 2007. Di Pentadio, Limboto, yang dikembangkan menjadi resort, taman rekreasi air panas mempunyai suhu terukur di termometer batang saat EGI V menunjukkan kisaran 64° – 78°C. Sangat panas untuk suatu mata air panas yang jauh dari lingkungan gunung api aktif. Bahkan menurut penjaga pos Suaka Marga Satwa Nantu, kubangan tempat babirusa berkumpul pun merupakan rembasan air hangat yang mengandung belerang. Para babirusa memerlukan air belerang sebagai penawar racun bagi buah pangi yang merupakan makanan utamanya.
Begitulah sekilas kondisi geologi Gorontalo. Di satu sisi menimbulkan harapan akan cadangan sumber daya bumi yang melimpah, di sisi lain menimbulkan ancaman. Di dalam salah satu prinsip tentang keselamatan kerja disebutkan bahwa kita harus bertindak berdasarkan batasan-batasan disain dan lingkungan, termasuk disain dan lingkungan alam. Menghadapi kondisi alam memang diperlukan kearifan. Dulo ito momongu lipu – mari kita membangun daerah – dengan arif dan bijaksana.
Penulis : Budi Brahmantyo
Artikel di buku Ekspedisi Geografi Indonesia 2009 Gorontalo (Bakosurtanal 2009)
Pustaka
·         Adra’I, K., A.N. Diponegoro, D. Untari, I. Haryana, R.H. Uno, dan A. Katili (2007), Biografi J.A. Katili: Harta Bumi Indonesia, Grasindo, Jakarta.
·         Apandi, T., dan S. Bachri (1997), Peta Geologi Lembar Kotamubagu, Sulawesi, skala 1:250.000, Puslitbang Geologi, Bandung.
·         Bachri, S., Sukido, dan N. Ratman (1993), Peta Geologi Lembar Tilamuta, Sulawesi, skala 1:250.000, Puslitbang Geologi, Bandung.
·         Kertapati, E.K. (2006), Aktivitas Gempabumi di Indonesia, Perspektif Regional pada Karakteristik Gempabumi Merusak; PSG, Bandung.
·         Lehmusluoto, P. and B. Machbub, (1997). National Inventory of the Major Lakes and Reservoirs in Indonesia, Expedition Indodanau Technical Report, Revised Ed., Research. Inst. For Water Res. Dev., Min. of Public Works, Rep. of Indonesia, and Dept. of Limnology and Env. Protection, University of Helsinki, Finland, Helsinki.
·         Supartoyo, dan Surono, (2008), Katalog Gempabumi Merusak di Indonesia Tahun 1629-2008 (Edisi keempat),Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Bandung.

 Silahkan download Versi PDF disini
Sumber : hulondhalo.com

PHOTO GALERRY

VIDEO